Kamis, 12 November 2020

Setiap mafu'l fih adalah dzhoro tidak setiap dzhorof adalah mafu'l fih

 Apakah setiap Isim yang menunjukan arti waktu dan tempat selalu di’irab sebagai Dzharfiyyah/Maf’ul Fih ? 


Tidak, apabila belum memenuhi ketiga syarat berikut: 


》▪Harus mengandung siratan makna Fii yang secara lafadz tidak nampak. Syarat in berlaku untuk dzharaf kategori Mutasharif yang kadang di’irab sebagai dzharfiyyah (maf’ul fih) dan terkadang tidak. Adapun dzharaf Ghair Mutasharif terutama yang Mabni, tidak memperkirakan makna Fii (di). Begitu juga dengan dzharaf Makan Mukhtas, seperti: البيت، الدار، المدرسة dan lainya, meskipun mengandung siratan makna Fii, namun tidak bisa dii’rab sebagai maf’ul fih (dzharfiyyah) sebab harus selalu didahului Huruf Jar. 

Kecuali memenuhi syarat yang ditentukan. Contoh: سكنت في البيت / ذهبت إلى المدرسة 


Penjelasan istilah-istilah di atas akan diperjelas di bawah.


 Lihat


السيوطي، جلال الدين، الأشباه والنظائر في

 النحو، تحقيق دكتور عبد العال سالم مكرم، ج١,.ص  ٨٢٦ 

قال ابن مالك

 اَلظَّرْفُ وَقْتٌ أَوْ مَكَانٌ ضُمِّنَا  # فِي بِاطِّرَادٍ 

كَهُنَا امْكُثْ أَزْمُنَا

》▪ Harus menunjukan arti tempat/waktu yang terkait dengan suatu kejadian. Syarat ini sudah pasti mutlak harus dimiliki setiap Isim ber’irab maf’ul fih, karena dzharaf merupakan makna pelengkap untuk menunjukan waktu dan tempat kejadian. Dimana setiap dzharaf mesti berta’alluq ( keterkaitan makna dengan suatu kejadian). Karenanya, dzharaf sebagai wadah (وعاء) yang tidak mungkin berdiri sendiri. Mesti manshub dengan amilnya Manshub baik secara dzhahir, taqdir, atau manshub secara tempat sebab alasan mabni, semuanya merupakan syarat mutlak untuk setiap Isim yang di’irab sebagai  (Maf’ul Fih). Kecuali dzharaf Makan Ghoir Mubham (Mukhtas) seperti yang telah disinggung di atas. Manshubnya Isim yang dijadikan dzharaf tidak manshub dengan sendirinya, melainkan dinashabkan oleh Amil-Amil yang memiliki keterkaitan makna.

 

قال ابن مالك

 فَانْصِبْهُ بِالْوَاقِعِ فِيْهِ مُظْهَرَا # كَانَ وَإِلاَّ فَانْوِهِ مُقَدَّرَا 


Adapun tanda Nashab dzharaf tidak selalu Fathah Dzahirah, terdapat juga Muqadarrah dan mabni (fathah kasrah, sukun).


 Apakah Isim-Isim dzharaf yang tidak memenuhi syarat di atas, tetap di’irab sebagai maf’ul fih? 


Ketika Isim-Isim ini tidak memenuhi syarat di atas, mereka hanyalah Isim biasa yang hanya mengandung arti waktu dan tempat, tanpa ada keterkaitan dengan terjadinya suatu kejadian. Kedudukan I’rabnya disesuaikan dengan posisinya masing-masing dalam kalimat. Perhatikan kedua contoh berikut:


 جاء خالد يومَ السبت / جاء يومُ السبت 


Kholid tiba hari sabtu / Hari sabtu telah tiba Kedua Lafadz يوم sama-sama mengandung arti waktu, namun keduanya berbeda dari segi ‘irab.

 Pada Lafadz يوم yang pertama, terdapat siratan makna Fii (di). Ketika artinya diterjemahkan dengan ( Kholid datang hari sabtu ataupun Kholid datang di hari sabtu), keduanya memiliki arti dan maksud yang sama. 

Berbeda dengan Lafadz يوم kedua yang tidak terdapat siratan makna Fii. Apabila kita terjemahkan dengan (hari sabtu telah datang dan di hari sabtu telah datang). kedua maknanya menjadi berbeda dan keluar dari arti sebenarnya. Pada Lafadz يوم pertama terkait dengan suatu kejadian yaitu datangnya Kholid, namun pada Lafadz يوم kedua tidak terkait dengan kejadian apapun. Dengan begitu, dia tidak berhak di’irab sebagai maf’ul fih melainkan sebagai Fa’il, karena hanyalah sebuah nama yang menunjukan arti waktu. 


Dari pemaparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa setiap yang di’irab sebagai maf’ul fih adalah dzharaf baik zaman atau makan. Dan tidak setiap dzharaf (zaman & makan) di’irab sebagai dzharfiyyah (maf’ul fih). 


Lihat:

 انظر : شرح الرضي على الكفاية، تحقيق يوسف حسن عمر، ص ٤٧٨



Tidak ada komentar:

Posting Komentar