Kamis, 17 April 2025

Mabni Fi'il Mudhori

 Keadaan Mabni Fi'il Mudhori dalam Nahwu (أحوال بناء المضارع)

  Jika kita lihat contoh kalimat di atas, pada contoh pertama dan kedua yaitu لَنَسْتَمِـعَـنَّ dan لَأَذْهَـبَـنَّ kita lihat keduanya terdapat nun taukid di akhir kata, yaitu nun bertasydid "ـنَّ", sedangkan harakat akhir fi'il mudhori keduanya adalah berharakat fathah "لَأَذْهَـبَـ & لَنَسْتَمِـعَـ " yaitu

Contoh :

(1) لَنَسْتَمِـعَـنَّ النَّصِيْحَةَ

Kami pasti mendengarkan nasihat

(2) لَأَذْهَـبَـنَّ مُبَكِّرًا

Saya pasti berangkat pagi-pagi

(3) النِّسَاءُ يَسْتَمِـعْـنَ النَّصِيْحَةَ

Para perempuan sedang mendengarkan nasehat

(4) الطَّالِبَاتُ يَذْهَبْنَ

Para siswi sedang berangkat

Pembahasan :

Jika kita lihat contoh kalimat di atas, pada contoh pertama dan kedua yaitu لَنَسْتَمِـعَـنَّ dan لَأَذْهَـبَـنَّ kita lihat keduanya terdapat nun taukid di akhir kata, yaitu nun bertasydid "ـنَّ", sedangkan harakat akhir fi'il mudhori keduanya adalah berharakat fathah "لَأَذْهَـبَـ & لَنَسْتَمِـعَـ " yaitu huruf ba dan ain yang berwarna biru, maka sudah bisa kita pastikan, kedua fi'il mudhori yang tersambung dengan nun taukid hukumnya adalah mabni, dan mabninya adalah mabni fathah. 


Sedangkan pada contoh kalimat ketiga dan keempat, yaitu "يَسْتَمِـعْـنَ dan يَذْهَبْنَ "kita lihat pada keduanya terdapat nun niswah di akhir kata, (nun niswah yaitu nun yang menunjukkan arti dhomir perempuan banyak dan ghoib atau mereka perempuan), ditunjukkan dengan nun pada akhirnya "ـنَ", sedangkan harakat akhir fi'il mudhori keduanya adalah berharakat sukun, yaitu "يَسْتَمِـعْـ dan يَذْهَبْـ" dapat kita lihat pada huruf ba dan ain yang berwarna biru, keduanya berharakat sukun, artinya fi'il mudhori yang tersambung dengan nun niswah, maka hukumnya adalah mabni, dan mabninya adalah mabni sukun.

Kaidah:

Fi'il mudhori akan menjadi mabni fathah jika digabungkan dengan nun taukid.

Sedangkan jika digabungkan dengan nun niswah, maka fi'il mudhori akan dihukumi mabni sukun.


Referensi :


Kitab Nahwu Wadhih, Jilid 2, Halaman 29 dan 30

Mabni Fiil Madli

 Keadaan Mabni Fi'il Madhi dalam Ilmu Nahwu (أحوال بناء الفعل الماضي)

 Macam-macam keadaan fi'il madhi dilihat dari mabninya :

Contoh Kalimat :

1. Pisang telah menguning 

إصْفَرَّ المَوْزُ 

2. Ahmad telah duduk

جَلَسَ اَحْمَدُ

3. Siswa-siswi telah duduk di lapangan.


الطُّلاَبُ جَلَسُوْا على المَيْدَان


4. Para siswi telah duduk di lapangan.


الطَالِبَاتُ جَلَسْنَ على الميدان


5. Aku telah memuliakan guruku.


أَكْرَمْتُ أُسْتَاذِى


Pembahasan :


  Jika kita melihat contoh kalimat di atas, semua fi'il di atas adalah fi'il madhi, dan jika kita ingat pada penjelasan sebelumnya bahwa semua fi'il madhi berupa kata mabni atau harakat akhirnya tetap (tidak berubah).


Macam-macam keadaan fi'il madhi dilihat dari mabninya :


1. Jika kita lihat pada contoh kalimat nomer 1-2 yaitu kata جَلَسَ٫ إصْفَرَّ

  Kalau kita perhatikan kedua fi'il itu tidak tersambung dengan huruf tambahan, dan kita lihat di akhir katanya berupa harakat fathah, maka dari itu pada keadaan ini kedua fi'il madhi tersebut mabninya mabni fathah.


2. |Jika kita lihat pada contoh kalimat nomer 3 


  Kalau kita perhatikan no 3 fi'il madhi di atas tersambung dengan huruf wawu dan pada huruf terakhir fi'il madhi adalah dengan harakat dhommah, maka dari sini kita tahu ketika fi'il madhi disambung dengan wawu jamak, maka fi'il madhi tersebut dihukumi *mabni dhommah.* 


3. Jika kita lihat pada contoh kalimat nomer 4-5 dihukumi dengan mabni sukun, berikut ini adalah penjelasannya :


جَلَسْ+نَ

Huruf sin (lam fiil mudlori' berupa sukun).

Nun (niaswah) untuk menunjukan jamak perempuan.

أكْرَمْ+تُ

Huruf mim dibaca sukun.

Kaidah :


   Pada dasarnya Fi'il madhi dihukumi mabni fathah, kecuali jika disambung dengan wawu jamak maka dihukumi dhommah, atau juga jika disambung dengan ta yang berharakat, nun niswah, atau nun jamak "ـنَا" yang menunjukkan arti fa'il, maka dihukumi mabni sukun.

Referensi :


Kitab Nahwu Wadhih Jilid 2 Halaman 19 - 21

Jumat, 11 April 2025

الادغام | Idghom

الْإِدْغَامُ
IDGHAM

وَالْمُضَاعَفُ يَلْحَقُهُ الْإِدْغَامُ, وَهُوَ: أَنْ تُسْكِنَ الْأَوَّلَ, وَتُدْرِجَ فِيْ الثَّانِيْ, وَيُسَمَّى الْحَرْفُ الْأَوَّلُ: مُدْغَمًا, وَالثَّانِيْ: مُدْغَمًا فِيْهِ

  Pada bina’ Mudha’af terdapat IDGHAM, yaitu: kamu harus mematikan huruf yang pertama dan mengidupkan huruf yang kedua, maka huruf pertama disebut Mudgham, dan huruf kedua disebut Mudgham Fih.


 • Secara bahasa الادغام (Memasukan).

•Dalam istilah Shorof,(Memasukkan:suatu huruf pada huruf lain).

•Kemudian Idghom yang dibahas didalam Shorof hanyalah (Mengidghomkan dua huruf yang sama).

 •Sedangkan didalam ilmu qiro'ah lebih luas.


  Secara umum, apabila ada dua huruf yang sama berada dalam satu kalimah, maka ada 3 kemungkinan:


1.(wajib di Idghomkan)

2.(boleh di Idghomkan)

3.(wajib di Idharkan atau tidak boleh Idghom)



✓ Wajib idghom contoh : مَدَّ yang aslinya adalah مَدَدَ

✓ Wajib idhar / tidak boleh di idghomkan.

Ada beberapa tempat yg wajib idhar

1. Ikut Wazan فُعَلٌ jamak dari فُعْلَةٌ

Jadi contoh مُدَّةٌ artinya masa/waktu sedangkan jamaknya adalah مُدَدٌ (tidak diidghomkan)

2. Wazan فُعُلٌ jamak dari فَعُوْلٌ atau jamak dari فَعِيْلٌ

ذَلُوْلٌ ج ذُلُلٌ

جَدِيْدٌ ج جُدُدٌ

3. Wazanفِعَلٌ jamak dari فِعْلَةٌ

4. Wazan فَعَلٌ

5. Wazan فُعَّلٌ

6. Jika ada dua huruf yang sama, setelah di idghomkan ternyata huruf yang kedua dibaca sukun karena ada dlomir rafa' yang berharokat, maka wajib idhar (tidak boleh idghom) contoh: رَدَدْتُ٫ مَدَدْتُ

✓Boleh idghom

1. Setiap fiil yang ikut pada Wazan إفْتَعَلَ dimana berkumpul dua ta' maka boleh wajah dua (boleh idghom boleh idhar). Contoh : إسْتَتَرَ > boleh سَتَّرَ . Jika di tashrif

إسْتَتَرَ - يَسْتَتِرُ - إسْتِتَارًا

Jika di idghom lalu di tashrif menjadi :

سَتَّرَ - يَسَتِّرُ - سِتَّارًا


Bedakan dengan tsulasi mazid yang berwazan فَعَّلَ - يُفَعِّلُ___سَتَّرَ - يُسَتِّرُ

2. Ada dua huruf yang sama berada pada fiil mudlori' yang di jazemkan atau menyerupai jazem (maksudnya fiil amar mabni sukun) maka boleh idghom boleh idhar Contoh: لَمْ يَمْرُرْ/ لَمْ يَمُرَّ - أُمْدُدْ/ مُدَّ

الاعلال بالحذف | يَعِدُ» يَوْعِدُ

 فا أمرٍ أو مُضَارِعٍ منْ كَوَعَدْ ... احذف وفي كعدة ذاك اطرد

Inti dari bait alfiyah diatas dalam kaidah ke-7 adalah :


  Pada fi’il ma’lum bina’ mitsal wawi yang fi’il mudhari’nya mengikuti wazan يَفْعِلُ, maka wawu tersebut harus dibuang pada fi’il mudhari’, amar dan mashdarnya. Dengan catatan :

√Pada huruf mudloro'ahnya berharokat fathah

يَعِدُ > يَوْعِدُ

يَ » berharokat fathah

×Kecuali pada jenis dibawah ini:

•Jika huruf mudloro'ahnya berupa harokat dlommah, maka wawu tidak dibuang. 

يُوْعِدُ

يُوْجِبُ

•Jika berupa bina' mitsal ya'

يَسَرَ - يَيْسِرُ

•Jika berupa bina' mistal wawi ikut Wazan يَفْعَلُ

وَجِلَ - يَوْجَلُ


√ada masdar-nya fa’ fi’il-nya yang dibuang diganti dengan ta’. 



Contoh:

∆Fiil Mudlori' 

(يَعِدُ = يَوْعِدُ ← يَعِدُ)


∆Masdar

(عِدَّةً = وِعْدًا ← عِدَّةً).


∆Fiil Amar  

(عِدْ = اِوْعِدْ ← اِعِدْ ← عِدْ )

Kamis, 10 April 2025

الاعلال بالاسكان يَغْزُوْ اصله يَغْزُوُ

 Ketika wawu atau ya’ bertempat pada akhir kata, dan terletak setelah huruf yang berharakat, maka harakat wawu atau ya’ tersebut harus (disukun).


✓Jika memang wawu atau ya’ tersebut berharakat dhamah atau kasrah. Hal ini bermaksud untuk mencegah beratnya pe-lafazd-an.

Contoh:   

(يَدْعُوْ = يَدْعُوُ ← يَدْعُوْ) 

(على الْقَاضِيْ = الْقَاضِيِّ ← الْقَاضِيْ)


✓Dan jika wawu atau ya’ tersebut berharakat fathah, maka harakatnya tidak dibuang (sukun).

Contoh: (لَنْ أَدْعُوَ إلى غير الحقِّ)


 ✓Adapun ketika wawu atau ya’ tersebut terletak setelah huruf yang berharakat sukun, maka harakatnya ditetapkan (tidak disukun).

Contoh: (شَرِبْتُ مِن دَلْوٍ)

مَيِّتٌ اصله مَيْوِتٌ | مَرْمِيٌّ اصله مَرْمُوْيٌ

 Ketika berkumpulnya wawu dan ya’ dengan syarat huruf yang pertama (dari wawu atau ya’ tersebut) berharakat sukun dan berupa huruf Asli (tidak gantian), dan juga harakat sukunnya asli.

Contoh:  

 (مَيِّتٌ = مَيْوِتٌ ← مَيِّتٌ)

Maka tidak boleh mengi’lal lafadz-lafadz:


a)      Huruf yang pertama (dari wawu atau ya’ tersebut) berupa huruf gantian (دِيْوَانٌ = دِوَّانٌ).

b)      Harakan sukun huruf yang pertama tidak asli 

("قَوْيَ" تخفيف "قَوِيَ").

صَائِنٌ |Mengganti wawu atau ya’ menjadi hamzah

   Penggantian wawu atau ya’ menjadi hamzah berlaku pada empat keadaan, yaitu:

1.      Ketika wawu atau ya’ bertempat pada akhir kata, dan terletak setelah alif tambahan. Contoh: 

  (بِناءٌ = بِنايٌ ← بِناءٌ)

2.      Ketika keduanya (wawu atau ya’) menjadi ‘ain fi’il pada isim fa’il.

Contoh: 

  (قَائِلٌ = قَاوِلٌ ← قَائِلٌ)

3.      Ketika keduaanya terletak setelah alif pada wazan مَفَاعِلُ dan yang menyerupainya. Dan keduanya merupakan huruf tambahan pada bentuk mufradnya. Contoh:


(عَجُوْزٌ ج عَجَائِزُ = عَجَاوِزُ ← عَجَائِزُ)

(صَحِيْفَةٌ ج صَحائِفُ = صَحايِفُ ← صَحائِفُ)

4.      Ketika ada dua huruf (dari salah satu wawu atau ya’) yang ditengah-tengahi oleh alif, yaitu pada wazan  مَفَاعِلُ.

Contoh:   (نَيْفٌ ج نَيَائِفُ = نَيَائِفُ ← نَيَايِفُ ← نَيَائِفُ)

Rabu, 09 April 2025

I'rob naql (pemindahan harokat)

 Pemindahan harakat ‘ain fi’il.

Contoh: (يَقُوْمُ = يَقْوُمُ ← يَقُوْمُ)

Pada i’lal pemindahan ‘ain fi’il ini, mempunyai enam syarat:

1) Huruf sebelumnya harus berupa huruf shahih yang mati. Maka tidak boleh meng-i’lal lafadz بَايَنَ.

2) Tidak berbentuk shighat fi’il ta’ajub. Maka tidak boleh meng-i’lal lafadz مَا أَقْوَمَ.

3) Tidak berupa fi’il mu’tal lam. Maka tidak boleh meng-i’lal lafadz أَهْوَى.

4) Lam fi’ilnya tidak berupa mudha’af. Maka tidak boleh meng-i’lal lafadz اِبْيَضَّ.[6]

5) Tidak berupa mashdar yang mengikuti wazan مِفْعَلٌ، مِفْعَلةٌ، مِفْعَالٌ. Contoh: (مِقْوَلٌ، مِرْوَحَةٌ، مِكْيالٌ)

6) Tidak berupa lafadz yang pada bentuk mujaradnya tidak dii’lal. Contoh: (أَعْوَرَ yang bentuk mujaradnya adalah عَوِرَ)

I'lal qolb (merubah wawu/ya' menjadi Alif)

 Merubah wawu atau ya’ menjadi alif


 Ketika huruf wawu atau ya’ berharokat (asli) dan huruf sebelumnya itu berharokat fathah, maka wawu atau ya’ tersebut harus diganti menjadi alif.

Contoh: (دَعَا = دَعَوَ ← دَعَا)

Adapun syarat-syarat wawu atau ya’ bisa dirubah menjadi alif adalah:

1. Ketika keduanya berada pada tempat ‘ain fi’il. Tapi menurut sebagian ulama tidak mensyaratkan itu. Dan huruf setelah wawu atau ya’ tersebut berharokat. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz بَيَانٌ.

2. Huruf setelahnya tidak berupa alif, atau ya’ yang ber-tasydid. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz فتيان atau عَلَوِيٌّ.

3. Keduanya tidak menjadi ‘ain fi’il dari wazan فَعِلَ yang mu’tal lam. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz قَوِيَ atau هَوِيَ.

4. Tidak berkumpulnya dua proses peng-i’lal-an. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz (هَوَى = هَوَيَ)

5. Tidak berupa ‘ain isim yang mengikuti wazan فَعَلَانٌ. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz حَيَوَانٌ.

6. Tidak berupa ‘ain isim dari isim musyabihat yang berwazan أَفْعَلُ. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz أَعْوَرُ.

7. Tidak berupa wawu yang menjadi ‘ain fi’il dari wazan افْتَعَلَ yang menunjukkan makna musyarokah. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz اِجْتَوَرَ الْقَومُ

Pengertian i'lal

 Pengertian I’ilal


الإعلال هو تغيير حرف العلة للتخفيف سواء أكان التخفيف بالقلب أم بالإسكان أم بالحذف.

  I’lal adalah merubah huruf ‘ilat untuk meringankan, baik dengan qolb (membalik), iskan (menyukun), hadzf (membuang).

Sesuai dengan pengertiannya, i’ilal hanya mencakup aktivitas-aktivitas (qalb, iskan, hadzf) yang berkenaan dengan huruf ‘ilat saja, tidak yang lain. Sedangkan pada pembahasan i’lal ada satu huruf yang disamakan dengan huruf ‘ilat dalam hal proses peng-i’lal-an, yaitu huruf hamzah.